Jumat, 16 Oktober 2009

SEMANGAT

So small it could almost be a miniature elephant

Islam dan Semangat Technopreneurship (Bag 1)

Hari ini Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memasuki era tatanan dunia baru bernama globalisasi, dimana tantangan terbesar negeri ini ialah rendahnya daya saing yang tercermin dari tingkat kemiskinan dan kesejahteraan yang masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari HDI Indonesia yang berada pada urutan yang cukup buncit yaitu 109 dunia pada tahun 2007. Selain itu, berdasarkan data BPS pada tahun 2006 jumlah penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan ialah sebesar 39,3 juta jiwa. Hal tersebut diperparah dengan kondisi lapangan pekerjaan kita dimana jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2006 mencapai 10,28 juta jiwa dan orang yang setengah menganggur sebanyak 29,1 juta jiwa.

Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat indonesia ialah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar didunia yang tentunya sebagian besar orang-orang yang menghuni angka-angka diatas ialah orang-orang muslim pula. Lantas sebuah pameo tak sedap pun tersebar di kalangan masyarakat kita bahkan dunia, bahwa Islam identik dengan kemiskinan, kelusuhan dan kekerasan.

Pameo tersebut tentunya tidak benar karena pada kenyataannya, Islam pernah meninggalkan jejak sejarah yang menceritakan suatu negeri dengan stabilitas ekonomi dan politik yang mumpuni dimana saat kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz saat itu tidak ada seorang pun yang termasuk dalam kategori Muzakki (penerima zakat) atau cerita mengenai kontribusi Islam di Cordoba yang melahirkan banyak ilmuan-ilmuan luar biasa yang memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangan peradaban dunia.

Lantas bagaimana fenomena ini bisa terjadi, Indonesia dengan penduduk muslim terbesar didunia justru menjadi negeri dengan sejuta masalah. Salah satu letak terbesar permasalahan umat muslim Indonesia saat ini ialah tidak terimplemetasikannya nilai-nilai Islam dengan baik, penerapan Islam masih sebagai Islam simbolik, belum bertransformasi sebagai Islam fungsional yaitu islam by action seperti yang diperagakan oleh generasi assalafusshalih terdahulu. Sayyid Quthb dalam bukunya yang terkenal Ma’alim fi Thariq secara khusus pada bagian awal bukunya memaparkan mengenai “Generasi Qurani yang Istimewa” sebagai berikut:

Mereka (generasi pertama) membaca Al Quran bukan untuk sekadar ingin tahu dan sekadar membaca, juga bukan sekadar untuk merasakan dan menikmatinya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang memperlajari Al Quran untuk sekadar menambah pengetahuan atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fiqih. Mereka mempelajari Al Quran untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup dan kehidupan yang dijalaninya bersama jamaahnya, Mereka menerima perintah Allah SWT untuk segera diamalkan setelah mendengarnya…”(Quthb, 2001)

Al Quran tentunya tidak memberikan kepada kita secara langsung mengenai rumus Newton atau rumus relativitas Einstein, walaupun dalam Al Quran kita bisa mendapatkan fakta-fakta ilmiah luar biasa seperti pada bidang kedokteran (QS: Al Mu’minun 14-17) atau pada bidang geologi (QS: Maryam 15). Al Quran sejatinya memberikan kepada kita hal yang lebih esensial yaitu pedoman untuk menggapai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. Pedoman-pedoman yang terdapat dalam Al Quran meliputi pembangunan etos kerja seorang muslim, semangat berinovasi, semangat mencari ilmu, semangat memberi dan semangat kerjasama. Semangat-semangat ini merupakan semangat yang jika diimplementasikan dengan baik tentunya akan membawa kebaikan kepada kita semua.

Al Quran memberikan kepada kita kemampuan untuk menyikapi dan menyelesaikan masalah dengan prinsip utamanya ialah ikhtiar dan tawakal. Hal ini sangat terkait erat dengan konteks pembangunan manusia Indonesia dalam rangka membangun jati diri bangsa (Nation Character Building) untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan diatas khususnya permasalahan ekonomi dan daya saing bangsa. Mantan menteri BAPPENAS Kwik Kian Gie memaparkan bahwa pada tahun 2003 terdapat sekitar 40.000.000 perusahaan di Indonesia. Jumlah perusahaan yang termasuk kategori besar sekitar 0,01% (4000) dan sisanya 99,99% ialah perusahaan kecil yang berbentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang ramai kita kenal saat ini dengan istilah pasar riil atau aktivitas ekonomi kerakyatan (Indopos, 2004).

Data tersebut menunjukkan betapa rakyat kita sangat tergantung kepada aktivitas usaha kecil menengah (UKM). Kondisi ini seharusnya mengingatkan kepada kita terkait urgensi mengembangkan kegiatan UKM, karena saat ini, seiring dengan masuknya era pasar bebas dimana produk-produk impor dapat membanjiri pasar dalam negeri kita dengan mudahnya. Timbul suatu pertanyaan besar, bisakah produk dalam negeri kita bersaing.

Solusi untuk meningkatkan daya saing ialah dengan sentuhan teknologi yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah atau minimalnya dapat membuat produk kita bisa bersaing dengan produk luar negeri. Saat ini trend ekonomi dunia mengarah kepada ekonomi berbasis keilmuan (knowledge based economy) dimana saat ini keilmuan atau pengetahuan sama pentingnya dengan modal fisik, modal keuangan dan sumber daya alam dalam pertumbuhan ekonomi. Sehingga pengembangan dan aplikasi teknologi dalam pengembangan dunia usaha yang kita kenal sebagai technopreneursip khususnya technopreneursip yang dilandasi dengan nilai-nilai islam untuk membentuk entrepreneur muslim yang memiliki kepribadian yang baik, tujuan hidup yang benar dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat menjadi sebuah tantangan untuk dikembangkan pada masyarakat kita.